Sebuah foto dengan pesan yang jelas: begini adab seorang Muslim (hidayatullah.com) |
Buku harian, benda ini merupakan salah satu
"gadget" bagi generasi tahun 70 dan 80-an. Buku harian biasanya
berisi catatan harian seseorang tentang kejadian dan peristiwa penting, catatan
hutang (eh), curahan hati, dan mungkin biodata dari teman-teman. Biasanya isi
dari buku harian ini bersifat "rahasia". Oleh karenanya, banyak teman
saya yang mempunyai buku harian yang ada gemboknya. Teman yang lain tidak bisa
mengetahui apa isinya tanpa seizin yang punya. Itu dulu, sebelum "Kerajaan
Dunia Maya" menyerang.
Sekarang, setelah dunia maya mengusai kehidupan
manusia, keberadaan buku harian mulai tergeser oleh jejaring sosial, seperti
Facebook, Tumblr, almarhum Friendster, dan layanan bloging. Tidak seperti buku
harian, di mana isi dari buku tersebut diusahakan tidak diketahui pihak lain.
Jejaring sosial justru mempunyai tabiat sebaliknya: terbuka, diumbar, dan
dipamerkan ke pihak lain. Tidak masalah jika yang isinya berupa kebaikan dan
kebenaran. Masalahnya, mayoritas isi dari jejaring sosial adalah "sampah":
keluh kesah, eksibisionis, dan syukur-syukur bukan hoax.
Baik buku harian maupun jejaring sosial, dua-duanya
memiliki kegiatan yang sama: tulis-menulis (ditambah foto). Nah, agar hasil
dari tulis-menulis kita yang berupa tulisan bukan sekedar susunan kata-kata,
berikut wejangan yang saya kutip dari Bapak Mahladi, Pimred Majalah Suara
Hidayatullah
Bayangkan Anda saat ini sedang menggenggam sebuah kamera foto, lalu ada yang bertanya pada Anda, "Apa yang mau Anda foto?"Anda mungkin saja menjawab, "Saya akan memfoto pameran buku," atau "Saya mau memfoto persawahan," atau "Saya mau memfoto pantai."
Jika pertanyaan tersebut berhenti sampai di sana maka besar kemungkinan gambar yang Anda dapatkan tak akan "berbicara". Mungkin saja gambar tersebut indah, tapi tak banyak informasi yang akan diperoleh dari gambar tersebut.
Karena itu pertanyaan tadi harus dilanjutkan, "Apa yang akan Anda ceritakan lewat jepretan kamera Anda?" Jika demikian maka otak Anda mulai dipaksa berpikir lebih keras untuk menemukan jawabannya. Mungkin saja Anda akan menjawab, "Saya akan menunjukkan bahwa pameran buku itu banyak penggemarnya," atau "saya ingin menggambarkan bahwa musim kemarau ini tak membuat padi berhenti menguning," atau "saya akan menunjukkan bahwa abrasi yang disebabkan gelombang laut telah mengikis pantai amat parah."
Begitu pula karya seorang jurnalis. Karya tersebut harus mengandung pesan, bukan sekadar menggambarkan. Ia harus bisa menuntun pembaca terhadap kebenaran yang ingin disampaikan penulis, bukan sekadar memperlihatkan keindahan berbahasa dan bercerita.
Pesan yang ingin Anda sampaikan melalui tulisan atau
sebuah foto merupakan "ruh" dari sebuah tulisan.