sumber gambar: hdu.utexas.edu |
Suatu ketika, ada teman datang ke Kalimantan Timur. Ia dari Jawa. Saat bertemu dengan orang Bugis, ia terheran-heran mendengar orang Bugis dalam mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia. Biasanya, saat mengucapkan kata yang berakhiran "n" atau "m", oleh orang Bugis ditambahi dengan "g". Contoh, kata makan diucapkan makang, kemarin dengan kemaring, hujan dengan hujang, ayam dengan ayang, dst. Hal ini, menjadi pertanyaan dari teman Jawa tadi, Mengapa bisa demikian?
Sebetulnya, kasus seperti ini terdapat pula pada etnis lain. Orang Jawa misalnya, dengan tanpa sadar, menambahi juga bunyi seperti halnya orang Bugis.
Bila orang Bugis, menambahkan "g" setelah "n". Orang Jawa menambahkan "m" sebelum "b", "n" sebelum "d, j, t", "ng" sebelum "g". Sehingga kata Balikpapan diucapkan mBalikpapan, Desa dengan nDesa, Jepara dengan nJepara, Gorontalo dengan ngGorontalo.
Jadi, bila ada orang Jawa bertanya, mengapa orang Bugis mengucapkan makan dengan makang? Jawabannya sama dengan pertanyaan, mengapa orang Jawa mengucapkan Balikpapan dengan mBalikpapan?
Konon, penambahan huruf "g" setelah "n" bukan hanya monopoli orang Bugis -dan Sulselbar umumnya seperti Makassar, Mandar, Konjo, Kajang, dan Duri-, orang Jepang pun melakukan hal yang sama. Kata "shimbun" diucapkan "shimbung", Nippon dengan Nippong. Bukan hanya itu, baik Bugis-Makassar-Mandar atau Jepang juga sama-sama pemakan ikan.
Perbedaannya, penambahan huruf orang Bugis dan Jawa pada Bahasa Indonesia merupakan interferensi fonologis, yakni adanya pengaruh bahasa ibu (Bugis, Jawa) pada bahasa kedua (Bahasa Indonesia), sedang pada Jepang tidak.