Hari itu, saya bertemu dengan teman dari Bogor di Makassar. Kami berdiskusi dengan topik yang ringan perihal pendidikan.
Saya pun teringat dengan buku yang pernah saya baca pada tahun 1997 berjudul "Sekolah itu Candu". Buku ini memaparkan bahwa sekolah yang pada mulanya adalah "sebuah pertemuan untuk mengisi waktu luang" di kemudian hari berubah menjadi lembaga formal dan yang lebih parah menjadi alat kapitalisme (Sekolah berasal dari sebuah kata Latin "scholae" yang berarti waktu luang).
Sekolah (lembaga pendidikan) seharusnya "membebaskan" manusia bukan menciptakan ketergantungan. Ribuan sarjana dicetak setiap tahun, namun lulusannya justru menjadi beban pemerintah berkenaan dengan penyerapan tenaga kerja. Padahal seharusnya, para sarjana ini bisa membangkitkan negeri ini dari ketertinggalannya, bukan malah menggantungkan harapannya kepada pemerintah.
Diskusi berlanjut dengan sebuah pertanyaan: manakah yang lebih baik, belajar dengan praktik atau dengan "membaca" cq sekolah?
Ambil contoh, untuk menguasai ilmu mekanik mana yang lebih baik
1. Seorang anak, melakukan magang di bengkel selama 3 tahun. Setiap hari hingga sore, praktik melepas baut, membongkar mesin, dst. dengan
2. Seorang anak yang belajar di sekolah? Dengan waktu belajar terbatas, lebih banyak teori, ada pelajaran lain yang tidak ada hubungannya dengan mekanik seperti sejarah, english, upacara, dsj. Sudah begitu biaya mahal pula.
Tentu saja hasil maksimal akan diperoleh dengan "learning by doing" sebagaimana belajar naik sepeda ya dengan menaikinya. Belajar komputer, pegang keyboard, mouse, dsj.
Sayangnya, masyarakat kita dan kita masih membutuhkan "pengakuan" berupa selembar ijazah yang kadang kala nilainya pun masih bisa dimanipulasi.
Learning by Doing or by Reading?
About the Author
Ayah dari 3 anak blasteran Jawa dan Bugis-Mandar, non partisan, pembelajar, dan santri.