Kelahiran Anak III: Antara Operasi Caesar dan KB Andalan
Alhamdulillah, anak ketiga saya telah lahir beberapa hari lalu. Tepatnya,
hari Senin dini hari jam 03.20 tanggal 19 Oktober 2015. Ngaturi pirsa dumateng Ibu +rita jatmiko. Kelahiran ketiga ini,
menurut istilah orang Jawa, menjadikan anak-anak kami diibaratkan dengan “sendang
diapit pancuran”. Maksudnya, anak perempuan kami diapit oleh dua anak
laki-laki. Urutannya, anak laki-laki, perempuan, dan laki-laki.
Sejak awal menikah, kami menginginkan agar anak-anak kami lahir secara
normal, terlepas dari adanya Keuntungan Melahirkan secara Normal dan Kerugian Melahirkan Melalui Operasi Caesar. Alhamdulillah, anak pertama bisa lahir
secara normal dengan perjuangan yang “berdarah-darah” dari Sang Istri. Anak
pertama kami lahir di Balikpapan, Kaltim. Nah, pada kelahiran yang kedua, saya
punya pengalaman yang kurang nyaman. Waktu itu, istri sudah mulai ada
tanda-tanda mau melahirkan, ditandai dengan keluarnya air (ketuban) yang tidak
terlalu banyak. Lalu kami pergi ke Ibu Dokter yang praktik di sebuah klinik di
daerah Kutai Barat, Kaltim. Setelah, konsultasi dan pemeriksaan tiba-tiba ibu
Dokter menulis surat rujukan bahwa istri saya harus dioperasi. Dalam hati saya,
“Gila ini dokter!” Soalnya, sebelumnya kami sudah sering memeriksakan kandungan
dan juga USG hasilnya normal-normal saja. Kami pulang dan bermusyawarah, apakah
mau terus mengikuti “keinginan” ibu Dokter agar operasi Caesar atau mau
melahirkan normal. Kata istri, dia ingin melahirkan normal saja. Akhirnya,
surat rujukan ke Rumah Sakit Daerah kami campakkan dan sore itu kami langsung
ke Puskesmas terdekat. Kami menemui bidan di situ yang sudah senior dan
berpengalaman. Kami diterima, dan akhirnya pada pukul 10.30 anak kedua kami
lahir. Besoknya, kami ngomong ke ibu Bidan bahwa sebetulnya kami dirujuk ke
rumah sakit agar proses kelahiran ini dioperasi Caesar. Ibu Bidan tadi
menjawab, “Ya, saya sudah tahu kok! Yang penting sekarang sudah lahir dan
selamat, ya!”
Anak ketiga, kejadiannya hampir mirip dengan anak kedua. Mungkin karena
faktor umur sehingga tenaga istri tidak seperti saat melahirkan anak yang
pertama 11 (sebelas) tahun yang lalu. Pukul 00.00 istri saya diperiksa bidan untuk
mengetahui sudah sampai pembukaan berapa. Rupanya sudah sampai pembukaan 9. Konon setelah sampai pembukaan 10 itu berarti bayi lahir. Istri saya ditangani oleh 2 bidan yang sudah tua dan 1 bidan baru lulus
pendidikan. Kata salah satu bidan, jika dalam satu jam kemuka belum lahir, maka
harus siap-siap operasi Caesar. Ada apa ini? Mengapa begitu mudah memberikan
vonis harus operasi? Kata bidan lainnya, jangan dulu, kita usahakan agar
normal. Karena susah cari angkutan malam-malam begini, lagian belum tentu juga
rumah sakit rujukan di Palembang mau menerima. Akhirnya, diulur! Pukul dua sang
bidan rupanya sudah menulis surat rujukan dan menanyakan beberapa hal kepada
saya. Keadaan ini seperti teror untuk saya dan istri. Dan terakhir, bidan itu
ngomong lagi, pokoknya jika jam 4 belum lahir, harus dioperasi. Saya bilang
oke! Subhanallah!
Dan alhamdulillah pukul 03 lewat 20 menit, anak ketiga kami lahir sebelum
deadline. Saya langsung sujud syukur, dan tak lupa berterima kasih sama mereka.
Pertanyaan besar bagi saya: mengapa kelahiran seorang anak condong diarahkan ke operasi caesar? Berapa persentase oknum petugas kesehatan yang mempunyai kecenderungan seperti ini?
*********
Pada proses kelahiran anak ketiga, bidan kedua sempat bilang kepada bidan
pertama, “Bu, buatkan saja MoU?” Dalam hati kembali saya bertanya, “Mou?
MoU apa?” Bidan pertama mengambil sebuah kotak bertulisan KB Andalan. Dan,
selanjutnya ngomong sama saya agar saya menyetujui penggunaan alat kontrasepsi
spiral yang akan dipasang di tubuh istri. Spiral ini akan efektif hingga 9
tahun! Alasannya untuk mengatur kelahiran. Saya menolak “tawaran” ini. Saya
berargumen jarak antara anak pertama dan kedua kami, 6 tahun. Sementara jarak
antara anak kedua dan ketiga, 5 tahun! Argumen ini cukup menjadi alasan
penolakan jika kami tidak memerlukan alat kontrasepsi yang memang tidak pernah kami gunakan.
Peristiwa ini mengingatkan saya pada kampanye KB yang terjadi di zaman Pak Harto: Dua anak cukup! Nama BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) tentu sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia waktu itu. BKKBN adalah ujung tombak program Keluarga Berencana di tingkat nasional. Berkaca pada kasus kelahiran anak ketiga saya bisa jadi ujung tombak program itu telah beralih ke para bidan. Entahlah!
*************
‘Alaa kulli haal, saya
bersyukur telah dikaruniai anak-anak oleh Tuhan. Merekalah harapan kami, harta
kami yang paling berharga, penerus perjuangan, yang kami harapkan doanya saat
kami sudah tua dan berada di akhirat sana.
Post a Comment