Hingga kini, saya sudah mempunyai dua anak: laki-laki dan perempuan. Namanya orang tua, kami terkadang mempunyai sifat protektif terhadap keduanya. Yah, maksudnya untuk memastikan mereka aman. Sebaliknya, anak-anak terkadang "menyanggah" terhadap omongan orang tua dengan argumen yang diutarakannya.
Saat menerawang masa kecil saya, harus diakui bahwa sudut pandang anak-anak terhadap suatu masalah/peristiwa berbeda dengan cara pandang orang dewasa.
Saya akan mengambil contoh beberapa hal yang saya ambil dari fragmen masa kecil saya, seperti di bawah ini
1. Tanah Longsor Menjadi Tempat Peluncuran (ski tanah)
Saya lahir di lereng utara Gunung Prahu, Jawa Tengah. Tepatnya di kabupaten Batang, relatif dekat sih sama Plato Dieng. Jika ditarik garis lurus via Google Maps jaraknya 14 km, jika melalui jalan dengan rute Bawang-Pranten-Dieng sekitar 23 km-an. Ini penampakan Gunung Prahu, yang saya comot dari Google
Menurut situs Antara Jateng, daerah saya termasuk 1 dari 8 kecamatan di Kab. Batang yang rawan longsor, (baca 8 Kecamatan di Kabupaten Batang Rawan Longsor). Daerah kami merupakan terusan dari Pegunungan Dieng dengan topografi berbukit jadi memang rawan longsor. Namun demikian, yang masuk kawasan rawan longsor hanya pada desa-desa tertentu saja. Bukan seluruh desa yang ada di kecamatan-kecamatan tersebut.
Nah, bicara tanah longsor, saya ingat saat di perbatasan desa mengalami longsor. Lahan sawah terasering di situ, tertutup longsoran tanah di atasnya.
Bagi orang dewasa, tanah longsor merupakan musibah dan bencana. Sementara bagi kami, tanah longsor kami "sulap" menjadi area peluncuran (ski). Alatnya pun sederhana cukup memakai pelepah pisang yang dilipat sedikit di ujungnya, tempat lipatan tadi dijadikan pijakan kaki, sambil duduk dan memegang ujungnya lalu meluncur ke bawah sana. Sungguh sangat berbahagia! Kebahagiaan kami terhenti saat ada orang-orang tua yang teriak-teriak ,"Hoi, balia kabeh, mengko nek ndhuwure longsor maneh piye? Padha kurugan kabeh mengko!" , dan kami pun berhamburan mencari keselamatan diti masing-masing. Hehehehee...
2. Gelondongan Kayu Jadi Kapal-kapalan
Untuk membangun rumah dan kayu bakar, orang-orang desa mayoritas memanfaatkan kayu sengon yang sengaja ditanam di lahan gaga mereka. Setelah berumur kira-kira 1 tahunan mereka mulai menebangnya. Tentu saja makin tua umur pohon, makin lebar diameternya (normatif banget, ya!). Jika ada keperluan mendesak, umur pohon 1/2 tahunan pun kadang sudah ditebang dan dijual.
Dengan alasan memudahkan dalam pengangkutan dari gogo ke kampung, kayu-kayu sengon yang sudah dipotong dihanyutkan di saluran irigasi, orang kampung menyebutnya wangan. Momen penghayutan kayu di wangan sering kami manfaatkan untuk main kapal-kapalan dengan menaikinya bersama teman-teman. Satu anak biasanya menaiki satu potong gelondongan kayu. Sebenarnya berisiko: anggota badan kita bisa terjepit dan terbentur batu yang ada di wangan dan tertabrak potongan kayu yang lain. Namun namanya juga anak-anak, bawaannya senang saja.
3. Mengejar Mobil Colt demi Mencium Aroma Bau Bensin
Zaman tahun 80-an, alat transportasi yang populer di desa adalah mobil kol (colt). Saat musim hujan, jalanan di kampung sering rusak gegara mobil kol yang terjebak jalanan licin dan becek. Jika jalanan yang dilalui menanjak, isyarat makin parah.
Ada kebiasaan aneh pada anak-anak kampung termasuk saya saat mobil kol masuk kampung, apalagi kalau bukan mencium bau bensin. Sensasinya gimana gitu. Momen mencium bensin saat kondisi jalanan licin dan menanjak sangat berbahaya bagi anak-anak. Namun seperti biasa: everything must go on (benar ya ejaannya?). Kami tetap berlari dan tertawa. Orang dewasa tidak tahu betapa bahagianya kami saat itu, mereka tahunya melarang. Hahahaa
4. Main Hujan: Awas Ada Petir, Nanti Sakit,...**
Saat hujan turun merupakan salah satu momen yang ditunggu-tunggu. Main bola bersama, membendung parit jalanan, main lumpur. Ahhh, rasanya bahagia banget!
Dengan alasan tertentu, orang tua dan dewasa sering terkadang melarang. "Awas Le, nanti kamu demam, bajumu kotor, kulitmu gudigen, nanti bau, ada petir,..."
Itulah beberapa memori masa kecil yang mencuat saat saya menghapi anak-anak. Adanya perbedaan sudut pandang memberi pelajaran agar kita belajar menjadi bijak.
Gambar diambil dari google untuk keperluan ilustrasi semata..