Tanggal 28 Oktober 2012, Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3I) berencana akan memberlakukan Penyatuan Zona Waktu Indonesia. Hal ini mengingatkan saya pada tag Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa , dan Satu Bahasa. Jika hal ini terealisasi, tag tadi akan bertambah menjadi Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa (dan Satu Zona Waktu).
Pengalaman saya menginjakkan kaki di 13 provinsi di Indonesia, di antara tiga 3 tag Sumpah Pemuda, yang paling terasa menyatukan Indonesia adalah bahasa. Itu yang pertama. Dengan adanya bahasa Indonesia, dengan orang dari manapun, suku apapun, pulau manapun, profesi apa pun, agama apapun, dan pun pun lainnya, terjadi komunikasi yang lancar. Komunikasi yang lancar merupakan modal terjadinya interaksi dan saling memahami. Meskipun harus diakui bahwa di berbagai daerah terdapat Interferensi Fonologis namun -secara umum- semua pemakai bahasa Indonesia bisa mengerti. Sederhananya, bahasa merupakan (salah satu) pintu dari rumah kemanusiaan (mohon maaf bila salah memberikan istilah akibat keterbatasan kosa-kata). Selanjutnya, menurut pengalaman, adalah faktor keyakinan (agama).
Penyatuan zona waktu Indonesia merupakan sesuatu yang baru terjadi. Dari tiga zona waktu yang ada: GMT +07.00, +08.00 dan +09.00 disatukan menjadi GMT +08.00 saja yaitu Waktu Indonesia Tengah, Konon sudah 9 (sembilan) kali terjadi perubahan zona waktu namun belum pernah disatukan (?). Sebagai sebuah kebijakan dari pemerintah, penyatuan zona waktu Indonesia tentu saja menimbulkan adanya pro dan kontra. Pihak pro yang diwakili pemerintah berpendapat bahwa penyatuan zona waktu bisa mempercepat pembangunan ekonomi termasuk di dalamnya pasar modal, dunia perbankan, pelayaran, efisiensi birokrasi, dan seterusnya.
Adapun pihak yang kontra menganggap kebijakan ini bisa mengganggu ritme kehidupan penduduk secara umum. Contoh kecil, di Jawa, orang yang biasa bangun jam 5 pagi , harus mengubah jam bangun tidurnya satu jam lebih awal menjadi jam 4 dini hari dengan perhitungan pukul 4 WIB sama dengan pukul 5 WITA sehingga jika tetap bangun pukul 5 pagi seperti biasa itu artinya dia bangun pukul 6 pagi akibat penyatuan zona waktu itu tadi. Jika dia bekerja di daerah Jadebotabek bisa dipastikan dia akan terlambat bekerja. Begitu pula anak sekolah dan sejenisnya.
Secara saya tinggal di Kalimantan Timur yang notabene-nya berada di Waktu Indonesia Tengah, penyatuan zona waktu ini tidak begitu berpengaruh bagi saya dan juga penduduk yang tinggal di wilayah ini. Penduduk yang tinggal di GMT +07.00 yang mungkin paling merasakan dampak dari kebijakan ini. Dikira bangun pukul 5 pagi padahal sudah pukul 6 pagi. Untuk hal ini, tidak ada salahnya kita belajar dari Malaysia (Barat) dan Singapura. Sebab kedua wilayah ini secara astronomis berada di lintang dan bujur yang sama dengan zona Waktu Indonesia Barat (artinya mempunyai posisi matahari yang sama) namun mempunyai zona waktu yang sama dengan Waktu Indonesia Tengah atau GMT +08.00.
Akhirnya, mau tidak mau jika memang sudah diputuskan pemerintah, penyatuan zona waktu Indonesia adalah keniscayaan. Semoga hal ini membawa manfaat yang besar bagi Indonesia dan menjadi Negeri Baldatun Thayyibatun wa Robbun Ghofur. Insya Allah!