Sebagai kampiun demokrasi, Amerika berusaha mengekspor ideologi ini ke seluruh penjuru dunia, dengan cara apapun dan bagaimanapun, halus maupun kasar. Negara-negara yang tidak sehaluan dengannya segera diberi label tidak demokratis, otoriter, poros setan, pendukung terorisme, dst. Hal inilah yang menimpa beberapa negara seperti Iran, Venezuela, Sudan, China, Kuba, dan Korea Utara.
Salah satu ciri yang paling mendasar dari demokrasi adalah adanya pemilihan umum yang diikuti oleh multi partai. Partai pemenang adalah yang mendapatkan suara terbanyak. Nah, di sinilah letak masalah dari demokrasi bahwa ''kebenaran'' diukur dari banyaknya suara. Bila suatu negara masih banyak orang yang berakhlak, berpendidikan dan punya nurani, tentu kecenderungan mereka akan memilih yang baik-baik. Bila tidak?
Belakangan, ada fenomena yang tidak bagus yang menimpa dunia politik Indonesia. Dengan alasan elektabilitas, beberapa artis masuk atau direkrut untuk mendongkrak suara baik dalam pemilu maupun pilkada.
Bayangkan! Orang sekelas ayu azhari dan julia perez (pakai huruf kecil), yang selama ini dikenal hanya bisa jualan dada dan paha, bisa-bisanya dicalonkan sebagai calon bupati dan wakil bupati. Apakah otak mereka bisa berfungsi untuk memikirjan hajat hidup orang banyak. Mau jadi apa bangsa ini.
Kasus di luar negeri, juga tak jauh beda. Ada mantan artis porno menjadi anggota parlemen. Bahkan di Amerika sendiri -yang katanya biang demokrasi, kemenangan Obama yang notabene berkulit hitam tidak sepenuhnya diterima oleh kulit putih. Kemenangan Obama menimbulkan lahirnya kelompok ultra-kanan yang membangkitkan supremasi kulit putih dan rasis. Tertangkapnya anggota kelompok Hutaree, membuktikan hal ini. Padahal, Obama terpilih secara demokratis.
Sisi Gelap Demokrasi: Jupe dan Hutaree
About the Author
Ayah dari 3 anak blasteran Jawa dan Bugis-Mandar, non partisan, pembelajar, dan santri.