Selamat datang di Kosim.web.id, semoga Kita s'lalu dalam lindungan-Nya

Punggawa kapal Sandeq

Artikel ini saya ambil dari blog. liputan 6.com

Kawasan pesisir Sulawesi Barat dikenal sebagai tempat bermukimnya suku Mandar – salah satu suku laut di pulau Sulawesi. Dalam dunia antropologi, nama suku Mandar senantiasa disejajarkan dengan suku Bugis, suku Makassar, atau suku Bajo. Salah satu perbedaan suku Mandar dibandingkan suku-suku laut lainnya di pulau Sulawesi, mereka dikenal sebagai possasiq atau pelaut-pelaut yang tangguh.
Sebenarnya, mereka bukan hanya dikenal sebagai pelaut yang sanggup mengarungi lautan berapa pun jauhnya. Tapi, mereka pun handal dalam mengumpulkan ikan di laut-laut dalam. Mereka memang menggantungkan nafkah sehari-harinya pada laut. Sehingga, perahu dan laut pun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka.
Nama suku Mandar kerap dikaitkan dengan salah satu jenis perahu kreasi mereka, perahu sandeq. Yakni, perahu tradisional dengan layar lebar, cadik, katir panjang, serta bentuk haluan dan buritan yang pipih-runcing. Karena bentuk buritan yang pipih-runcing itu, maka disebut sandeq yang berarti “runcing”. Dan, bagi warga suku Mandar, perahu sandeq bukan sekedar kendaraan untuk mencari nafkah, tapi juga memberikan status sosial tinggi bagi pemiliknya.
Perahu sandeq dibuat dengan mengacu pada struktur manusia, dengan tulang rangka dan anggota-anggota tubuh lainnya. Pusat “kehidupan” perahu sandeq adalah pada possi atau pusat di bagian bawah tengah lambung. Saat perahu tersebut dibuat atau tengah menjalani prosesi ritual, possi mendapat perhatian tersendiri dari pemimpin ritual (sanro).
Cerita menarik yang dapat digali dari perahu sandeq adalah kekerabatan yang kental antara perahu sandeq dan awaknya (passandeq). Ibarat kuda dan jokinya. Perahu sandeq yang kokoh, cantik, dan mampu melaju cepat di atas samudera (lopi sandeq nan malolo), harus dikendalikan oleh passandeq-passandeq yang tangguh. Mereka terdiri atas punggawa dan sawi – dalam konteks suku Bugis atau suku Makassar, sawi disebut sahi.
Punggawa merupakan kapten dan juru mudi, sedangkan sawi menjadi pengatur arah layar dan keseimbangan perahu. Di atas perahu sandeq, punggawa dan sawi merupakan kelompok kerja yang kompak. Pada hakekatnya, punggawa adalah pemimpin atas para sawi. Karena itu, ia bukan orang sembarang di dalam timnya. Seseorang dijadikan punggawa, karena ia dianggap mumpuni dalam hal; keterampilan melaut (paqissangang aposasiang), pengetahuan berlayar (paqissangan sumobal), pengetahuan keperahuan (paqissangang paqlopiang), dan kemampuan supranatural (paqissangan). Punggawa bukanlah orang yang dipilih karena kedekatannya dengan pemilik perahu atau kepala desa. Tapi, ia memang memiliki bekal keterampilan yang lebih dibandingkan para sawinya.
Umumnya para punggawa adalah orang-orang yang sudah berumur. Warga suku Mandar memang tidak pernah bermain-main dalam urusan penetapan punggawa. Karena, ia bukan hanya akan bertanggungjawab atas laju perahu di atas air. Tapi, juga menyangkut keselamatan seluruh awaknya dan pendapatan melautnya. Di atas perahu sandeq, ia benar-benar menjadi tokoh kharismatik bagi para sawi. Komando-komando sang punggawa menjadi peraturan mutlak bagi para sawi. Karena itu, punggawa yang pendiam sekali pun akan berubah total saat ia memimpin di atas perahu sandeq. Tiba-tiba, ia bisa berwatak keras dan garang saat mendapati sawinya tidak patuh atau lamban menerima instruksinya. Tapi, ia juga bisa menjadi lembut dan santun tatkala para sawi telah melaksanakan tugasnya dengan sempurna.
Dalam kenyataan, belum pernah ditemukan dalam sejarah atau antropologi suku Mandar, kisah sawi yang membelot atau melawan punggawanya. Karena kharismatik dan wibawa sang punggawa, para sawi ikhlas menyerahkan pikiran, tenaga, bahkan jiwanya. Sebaliknya, belum pernah juga ditemukan, cerita punggawa yang mamarahi atau memaki sawinya secara membabi-buta. Di atas perhau sandeq, mereka memang tim yang padu dan tidak pernah berbenturan emosi.
Seorang punggawa dipilih karena ia memiliki modal terbesar dalam kepemimpinannya, yakni personal power (kharisma). Modal itu didapat bukan dari sekolah atau perguruan tinggi. Tapi, titisan bakat, pengalaman berguru pada orang-orang pintar, dekat dengan Yang Mahapencipta, dan keterampilan teknis yang terus diasah, menjadi peluru-peluru berharga, untuk melengkapi personal power. Dan seperti juga masyarakat adat di daerah lain, variabel personal power menjadi syarat utama dibandingkan syarat-syarat lain. Terlebih lagi, faktor “x”. Mereka tidak mengenal istilah KKN. Mereka tidak mengenal siasat “kedekatan”. Bahkan, pemunculan aura “kharisma” pun tidak dengan unsur kesengajaan. Tapi, hal itu dibentuk proses panjang dan proses pembelajaran jiwa yang dalam.
Ia merupakan cerminan pemimpin yang senantiasa berserah diri kepada Yang Mahasuci. Karena itu, ia bukan hanya sosok yang telah melewati tahap-tahap pembentukan pribadi nan bersabar, bersyukur, bertawakal, dan berzuhud. Tapi, ia memang sudah istiqomah untuk menjalaninya dengan ketekunan. Di luar mencari nafkah di atas perahu sandeq atau perahu nelayan lainnya, ia lebih banyak mencurahkan waktunya hanya untuk Tuhan.
Kesimpulannya, punggawa adalah gambaran pemimpin yang menyejukkan hati para sawi. Ia adalah tokoh panutan, sandaran, dan juga masa depan. Pola kepemimpinannya yang terbilang tradisional justru menghadirkan inspirasi mendalam di kancah kepemimpinan modern. Adakah sosok kharismatik yang bisa kita dapatkan di lingkungan kita?
Ketika berbicara tentang situasi sosial di sebuah perusahaan atau kantor, maka fokus masalahnya akan lebih mengarah pada interaksi antara atasan dan bawahan. Atasan atau boss adalah pembuat dan pengatur kebijakan, untuk mencapai target perusahaan. Sedangkan bawahan adalah pelaksana atas kebijakan-kebijakan itu sendiri.
Bila bawahan dituntut untuk memiliki kemampuan, semangat, kepatuhan, dan loyalitas, bagaimana dengan atasan? Jawabannya, sama. Karena, atasan juga memiliki atasan. Pucuk kepemimpinan tertinggi digenggam oleh pemilik perusahaan. Akibat adanya hirarki hubungan-hubungan itu, dengan sendiri, setiap atasan mesti “berjuang” untuk mendapat nilai lebih di mata atasannya. Sehingga, jurus akrobatik memainkan elemen-elemen; kemampuan, semangat, kepatuhan, dan keberuntungan, juga terjadi. Efek selanjutnya dari permainan tersebut, sudah bisa ditebak, bawahanlah yang harus menerima segala resiko.
Bila berhasil, kerap sang atasan akan menyebutnya sebagai buah kerja kerasnya dan berharap mendapat penghargaan atau apresiasi. Sebaliknya, jika gagal, maka kerap bawahan pula yang dikorbankan dengan banyak alasan. Kenyataan seperti itulah yang membuat persoalan-persoalan tidak sehat bermunculan. Banyak orang lebih suka berburuk-sangka (su’udzon) kepada atasannya dan teman-teman kerjanya. Hakekat team work sekedar basa-basi. Karena, pada kenyataannya, ada orang-orang yang tidak sabar dalam antrian dan menghalalkan segala cara, untuk memenangkan kepentingannya.
Apakah ini kaitannya dengan kualitas kepemimpinan? Atau, karena agama senantiasa dianggap tidak memiliki makna apa-apa di lingkungan kerja?
“Kepemimpinan merupakan bakat, seni, dan kemampuan, yang sering dibilang tidak ada sekolahnya. Wawasan dan pengalaman kerap menjadi pijakan. Tapi, agama atau adat-istiadat juga bisa memberikan pengaruh,” papar seorang Dosen Ilmu Manajemen saat kuliah dulu.
Buat kita, bila berbicara tentang kepemimpinan, maka acuannya sudah jelas, yakni tauladan yang diberikan oleh Baginda Rasulallah Muhammad saw. Ia adalah kekasih Allah, manusia tersempurna, manusia yang senantiasa dilindungi akhlak dan kemuliaannya (mahsum) dan tidak bandingannya di jagat ini. Karena itu, jiwa kepemimpinannya pun perlu ditiru. Adil, bijaksana, egaliter. Dan butuh halaman panjang untuk menguraikan semua kelebihannya. Catatan penting lain yang bisa diteladani oleh kita adalah sikap ladang dada dan kendali emosi. Beliau senantiasa menerima pujian, kritik, celaan, bahkan hinaan, dengan senyum. Legowo dan tidak menyimpan dendam. Dan, tidak sekali pun memperlihatkan reaksi berlebihan atas serangan atau teror musuh-musuhnya.
Coba juga resapi pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauzy bahwa ketika seorang hamba mengikuti seorang laki-laki, maka lihatlah apakah dia termasuk ahli zikir atau termasuk golongan lalai, dan apakah hakimnya hawa nafsu atau wahyu? Jika hakimnya adalah hawa nafsu, maka perintahnya harus diabaikan.
Pendapat itu memberikan gambaran soal sosok pemimpin. Pertama, dia laki-laki. Contoh-contoh kepemimpinan dalam khazanah Islam memang senantiasa menempatkan kaum Adam sebagai orang nomor satu. Tidak ada pernyataan atau dalil, yang menampilkan perempuan sebagai pucuk pimpinan. Kedua, kualitas dan kuantitas ibadah dan penyerahan diri kepadaNya. Masalah zikir yang dipersoalkan merupakan bukti, Islam menekankan kepada setiap pemimpinnya untuk rajin berzikir dan senantiasa berserah diri. Maknanya adalah orang-orang yang tidak terlalu mempedulikan masalah duniawi. Istiqomah sebagai zahid – orang yang disiplin menjaga jarak dengan persoalan duniawi dan pemenuhan hawa nafsu. Jiwa-raganya hanya untuk Allah swt. Dan ketiga, tentang hakimnya yang harus wahyu, tentu saja, berkaitan dengan kualitas dan kuantitas ibadah atau zikirnya tadi. Islam berharap mendapat pimpinan yang sudah matang secara spiritual, senantiasa meminta petunjuk dari Allah swt, dan tidak dikendalikan oleh hawa nafsu atau thogut.
Meskipun demikian, harus diakui, menghubungkan pemahaman itu dengan situasi di sekeliling kita, jadi tidak bijaksana. Sandaran agama lebih tepat digunakan pada organisasi atau lembaga yang tradisi agamanya memang sangat kuat. Contoh kasusnya adalah Kesultanan Demak Bintoro, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, Kesultanan Palembang Darussalam, atau Kesultanan Butuni.
Konyolnya, kerap di antara kita memunculkan pertanyaan aneh, mengapa Allah membiarkan lahirnya atasan atau pemimpin yang tidak kapabel dan cenderung lalim?
Masih ingat tentang cerita raja mukmin dan raja kafir? Allah mengatur agar raja mukmin terus mendapat kesusahan, karena Allah berkehendak agar ia mendapat nilai bagus yang sempurna dan kemuliaan di akhirat. Sebaliknya dengan raja kafir. Allah memberikan terus kemudahan kepadanya, karena Allah berkehendak agar ia mendapat nilai buruk yang sempurna dan kesengsaraan di akhirat (baca kembali RASINAH, PENARI TOPENG).
Allah mengatur sedemikian rupa, dengan memainkan kekuasaanNya yang tanpa batas. Allah tunda kemudahan, karena akan memberikannya di kesempatan lain. Sebaliknya, Allah bisa berikan kemudahan, tapi akan membalaskan kesulitan di kesempatan lain. Semua itu adalah misteri Allah. Tapi, kita harus meyakini adaNya dan kuasaNya. Allah memang Mahamengatur dan Mahamerencanakan.
Contoh paling ekstrim, belajar pada kisah Fir’aun; memiliki kemuliaan yang teramat-sangat, kaya-raya, berpikir sebagai Tuhan, tengah berada di puncak kemuliaan, puncak kesombongan, puncak riya, dan berbagai puncak kebanggan diri lainnya. Tapi ketika waktunya tiba, ia terjerumus dalam kematian yang buruk. Su’ul khotimah. Hanya demikian kejayaan sang raja agung, ketika Yang Maharaja memperlihatkan keperkasaanNya.
Kembali mengingat dan meyakini adaNya dan kuasaNya. Tapaki terus tahapan-tahapan spiritual yang bisa membuat pikiran dan hati kita terjaga. Bersabar, bersyukur, berpasrah diri atau bertawakal, mengatur jarak dengan masalah duniawi, dan berserah diri. Tanpa berpikir, untuk membalas atau meresponnya secara negatif. Tapi, peliharalah terus sifat berbaik-sangka. Husnuzon, maksudnya. Kalau kita masih mempertanyakan kehendak Allah lantaran dianggap membela atasan yang lupa diri, artinya kita masih meragukan semua rencana dan aturan-aturanNya. Kita justru terpancing, untuk malas mengikuti antrian, malas bekerja keras, menghalalkan segala cara, membabi-buta mencapai keinginan, akhirnya, tanpa sadar kita telah berburuk-sangka juga kepada Gusti Allah.
Bersabar, bersabar, dan teruslah bersabar sampai kapan pun. Cuma itu jawaban terbaiknya, agar situasi tidak menjadi keruh. Buat sementara, lupakan teori-teori manajemen atau profesionalisme, karena dalam kondisi tertentu seakan tidak bermakna. “Sabar kan ada batasnya,” keluh orang-orangyang di ambang putus asa.
Kenyataanya, tidak. Kalau saja sabar batasnya, maka orang itu sudah sampai pada titik putus asa. Tidak percaya adaNya dan kuasaNya. Berhenti juga kesucian hati dan perjalanan spiritualnya. Ia menjadi seperti manusia kebanyakan lagi. Manusia awam. Awam segala-galanya. Yang hanya mengerti masalah duniawi, hawa nafsu, harta benda, lawan jenis, lupa ibadah, lupa zikir, lantaran larut dengan kesibukan memburu semua itu.
Ibarat permainan lego, bersabar adalah balok-balok pembentuk pondasi. Rangkaian balok terbawah. Ia dasar dan menjadi penopang bangunan di atasnya. Kalau bagian itu roboh, maka permainan usai. Dan, kita harus menyusunnya kembali dari dasar. Dari awal. Meskipun, saat itu kita telah membentuk dindingm atap, serta pintu dan jendela. Karena, mana ada bangunan yang tidak memiliki pondasi?
Banyak cara Allah swt untuk menguji ketabahan dan kemampuan bersabar umatNya; ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, dan sebagainya. Tapi, senantiasa ada janji kemuliaan di balik semua ujian itu. Bersabarlah untuk menanti kedatangan berita gembira itu. Maaf, berita gembira itu hanya dipersembahkan kepada orang-orang yang sabar. Begitu mulianya mukmin yang bersabar, sehingga Allah swt terus membelainya dengan ujian, cobaan, dan peringatan. Namun, Dia juga tetap menjanjikan kebaikan di belakangnya.
Sebaliknya, dengan atasan atau pemimpin yang menabaurkan watak Fir’aun. Justru dengan kesempatan dan kemuliaan yang diperolehnya, ia malah lupa diri. Entah apa yang diterapkan dalam konsep manajemennya? Entah target apa yang dicapai dengan konsep itu? Dan bila kita hubungkan dengan kepribadian punggawa perahu sandeq, maka makin terasalah jurang perbedaannya. Kita abaikan jenjang pendidikan atau status sosial. Tapi, kita fokus soal bangunan batiniah di dalam jiwa kedua pemimpin itu. Maka, akan jelaslah terlihat bahwa atasan atau pemimpin yang masih lupa diri memiliki latar belakang kejiwaan yang tidak jelas dan “bangunan” personal power yang juga kosong.
Patron punggawa-sawi dalam kehidupan suku Mandar adalah inspirasi berharga soal bagaimana seseorang dipilih menjadi pemimpin, bagaimana ia harus bersikap terhadap bawahannya, dan sebaliknya, bagaimana bawahan harus mengikuti semua ketentuan yang digariskan oleh atasan. Cobalah perhatikan bagaimana sosok seperti punggawa perahu sandeq itu dibentuk. Perhatikan juga “bahan baku” yang membentuk bangunan hatinya. Ia adalah produk masyarakat adat yang terkondisikan untuk senantiasa bersabar, bersyukur, bertawakal, berzuhud, dan berserah diri, kepada Yang Maharaja. Sehingga, sangatlah wajar istiqomah batiniah itu membentuk bangunan hati nan anggun di dalam dirinya. Dan, bangunan hati itu pun memberi pengaruh besar bagi sekelilingnya.
Punggawa memberikan kepercayaan penuh kepada para sawinya, untuk bekerja dan memperlihatkan nilai lebihnya untuk tim. Para sawi pun memberikan kepercayaan penuh kepada punggawanya, untuk mengarahkan dan membimbing mereka mencapai akhir perjalanan. Sikap saling percaya itu membentuk ikatan kuat, untuk sama-sama melajukan perahu sandeq dan meraih ikan sebanyak-banyaknya.
Pola hubungan kerja punggawa-sawi memberikan contoh interaksi kuat antara atasan dan bawahan. Kesederhanaan berpikir, namun dilandasi kejujuran dan keinginan berbagi kebahagiaan, membuat sistem organisasi berlangsung dalam suasana yang mengasyikkan. Tidak pernah ada kasal iri, dengki, kesal, kecewa, dendam, dan prasangka buruk punggawa terhadap sawi atau sawi terhadap punggawa. Mereka disiplin pada job descriptionnya masing-masing, dan sedapat mungkin menutupi anggota tim yang dianggap lemah. Karena, pada hakekatnya, penghargaan dan penilaian terhadap bawahan senantiasa disandarkan pada keyakinan bahwa bawahan pun hamba Allah juga. Pengambilan keputusan atau kebijakan pun tidak semata-mata karena emosi atau faktor-faktor “x”. Tapi, zikir dan pendekatan yang tanpa henti kepada Yang Mahamembuka senantiasa menjadi referensi. Pastinya, pemimpin seperti itu akan terus mengayomi, melindungi, dan menyejahterakan bawahannya. Menjauhkan zalim. Sehingga, ia benar-benar akan selalu bersikap adil dan bijaksana di setiap langkahnya.
Punggawa perahu sandeq dan suku Mandar juga merupakan bunga inspirasi pemimpin yang senantiasa berserah diri kepada Yang Maharaja. Karena, ia mengemban amanah itu untuk kemuliaan dirinya dan para sahinya. Ia adalah manusia-manusia yang terpilih dengan anugerah nan tak terbatas. Sehingga, ia pun harus menjaga amanah agar bisa menghadirkan kemuliaan dan surga bagi sekelilingnya.
Dan, yakinilah bahwa pada hakekatnya setiap dari kita pun mengemban amanah laksana punggawa perahu sandeq. Namun, adakah tekad untuk memuliakan dan memberikan surga untuk sekeliling kita? Karena, pada dasarnya, pribadi-pribadi yang telah berzuhud dan senantiasa berserah diri tidak pernah lagi memelihara banyak keinginan secara duniawi. Tapi, ia berkeinginan berbagi dan berbuat kebajikan sesuai amanahNya.

About the Author

Ayah dari 3 anak blasteran Jawa dan Bugis-Mandar, non partisan, pembelajar, dan santri.

Posting Komentar

Silakan memberikan saran, masukan, atau tanggapan. Komentar Anda akan saya moderasi terlebih dahulu. Tautan aktif sebaiknya tidak dipasang dalam komentar. Dan, mohon maaf, komentar Anda mungkin tidak segera saya balas, karena kesibukan dan lain hal. Terima kasih :)
---Kosim Abina Aziyz
Subhanallah!
Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres dengan koneksi internet Anda. Hubungkan lagi koneksi internet Anda dan mulailah berselancar kembali!